Sore hari yang sedikit dingin karena hujan baru saja berhenti. Aku melirik jam tanganku, jam 3.45. Aku belum terlambat. Apa kamu sudah datang? Mungkin saja. Kamu tidak pernah terlambat datang setiap kita janjian. Tapi pertemuan kali ini kan berbeda dari biasanya. Katamu semalam, ada hal penting yang ingin kamu bicarakan. Entahlah.
Aku membuka pintu kafe di ujung jalan itu. Aroma kopi langsung menyambut. Wangi yang menenangkan. Aku melihat sekitar, masih sepi. Kamu belum datang. Tumben, tidak seperti biasanya. Aku langsung memesan minuman. Aku sudah cukup akrab dengan tempat ini, berkali kali aku ke sini, dengan atau tanpa kamu. Aku menikmati waktu-waktu yang ku habiskan di sini, juga menikmati obrolan-obrolan kita di sini. Ah dan juga aku selalu mengingat pertama kali kita bertemu di sini.
Sore itu, aku duduk di kursi dekat jendela besar yang menghadap jalan raya dengan meja panjang, sharing table. Sedang menikmati greentea latte kecintaan sambil membaca buku yang baru kubeli di toko buku sebelah kafe sebelum ke sini. Aku sangat fokus membaca sampai tidak sadar kamu sudah duduk di sebelahku cukup lama. Cukup lama sampai akhirnya kamu menegurku, mengajak kenalan. Caramu berkenalan cukup membuatku tertawa kecil, basi sekali, menanyakan buku apa yang sedang kubaca sampai sebegitu fokusnya. Mungkin karena grogi. Tapi aku bersyukur kamu berani mengajakku berkenalan sore itu.
Aku langsung jatuh cinta pada caramu memanggil namaku setelah kita berkenalan. Juga pada menit demi menit percakapan kita yang membuat aku melupakan buku yang sebelumnya kubaca.
Caramu bercerita menyenangkan. Senyummu jangan ditanya lagi, seperti hal terindah yang bisa kubingkai sore hari itu. Sorot mata yang teduh, dengan garis rahang yang tegas. Rambut yang agak sedikit berantakan tetapi entah bagaimana terlihat cocok untukmu. Sweater biru donker, celana jeans dengan biru yang lebih gelap. Jam tangan hitam di tangan kiri dan sepatu hitam. Kamu sangan tampan.
Kita bertukar nomer handphone, berharap tetap bisa mengobrol di kemudian hari. Dan ternyata malam harinya kamu langsung menelepon. Bibit-bibit rasa yang muncul tadi sore tumbuh dengan subur di dalam hati.
2 tahun setelah sore itu, aku duduk di tempat yang sama, menunggu kamu dengan greentea latte kecintaan. Sudah 30 menit berlalu dari waktu janjian. Tumben sekali. Ada apa denganmu? Apa kamu baik baik saja selama perjalanan ke sini?
Ah mungkin kamu masih ada sedikit urusan, aku akan menunggu.
Satu jam berlalu, aku tetap menunggu. Menit demi menit kali ini berjalan lebih lambat.
Dua jam berlalu, aku mulai tidak sabar. Tidak biasanya kamu seperti ini. Aku terus mengecek ponsel dengan gelisah. Berharap ada pesan masuk darimu yang mungkin lupa aku baca. Tapi nihil. Tidak ada kabar apapun darimu.
30 menit lagi berlalu, akhirnya aku mulai menelepon mu. Sungguh aneh. Kamu terlambat, tidak seperti biasanya. Kamu tidak memberi kabar apapun, tidak seperti biasanya. Nomormu tidak dapat dihubungi, tidak seperti biasanya. Di luar hujan mulai turun. Langsung deras, tidak menyapa dengam gerimis terlebih dahulu.
Aku terus menunggu sampai memesan greentea latte kedua. Melamun menatap jalan. Berharap tiba-tiba kamu muncul dan tersenyum di depan jendela dengan payung abu-abu mu itu.
Aku terus melamun sambil melihat air hujan turun, menampar jalan, membuat suara yang cukup berisik tapi aku tidak terganggu.
Aku terus melamun sambil melihat air hujan turun, menampar jalan, membuat suara yang cukup berisik tapi aku tidak terganggu.
Cukup lama aku melamun, sampai harus dipanggil berkali-kali sampai akhirnya sadar. Sedikit kaget. Ternyata salah satu pelayan di kafe itu yang menegurku. Dia memberikan sebuah surat dengan grogi, entah apa isinya. Dia cuma menyebutkan namamu.
Aku tidak bisa menebak apa yang ada di dalam surat itu. Aku mulai gelisah. Penasaran dengan isi surat itu tapi aku takut membaca nya.
Setelah sekian lama, akhirnya ku beranikan diri untuk membuka surat itu. Hanya ada sebaris kalimat, ditambah namamu di akhir surat.
Aku menghela napas panjang setelah membaca nya. Lalu memasukkan surat itu juga handphone ku ke dalam tas, membayar pesanan ku, menerobos hujan. Aku harus pulang.
Besoknya aku jalan melewati kafe itu lagi. Berhenti sebentar, menatap ke dalam, ke meja dekat jendela. Kali ini aku tidak mampir. Sama beratnya dengan kamu yang hanya menitipkan surat untuk sebuah perpisahan, aku terus melangkah maju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar