Senin, 04 Desember 2017

Tentang Waktu Itu

Sore hari yang sedikit dingin karena hujan baru saja berhenti. Aku melirik jam tanganku, jam 3.45. Aku belum terlambat. Apa kamu sudah datang? Mungkin saja. Kamu tidak pernah terlambat datang setiap kita janjian. Tapi pertemuan kali ini kan berbeda dari biasanya. Katamu semalam, ada hal penting yang ingin kamu bicarakan. Entahlah. 

Aku membuka pintu kafe di ujung jalan itu. Aroma kopi langsung menyambut. Wangi yang menenangkan. Aku melihat sekitar, masih sepi. Kamu belum datang. Tumben, tidak seperti biasanya. Aku langsung memesan minuman. Aku sudah cukup akrab dengan tempat ini, berkali kali aku ke sini, dengan atau tanpa kamu. Aku menikmati waktu-waktu yang ku habiskan di sini, juga menikmati obrolan-obrolan kita di sini. Ah dan juga aku selalu mengingat pertama kali kita bertemu di sini.
Sore itu, aku duduk di kursi dekat jendela besar yang menghadap jalan raya dengan meja panjang, sharing table. Sedang menikmati greentea latte kecintaan sambil membaca buku yang baru kubeli di toko buku sebelah kafe sebelum ke sini. Aku sangat fokus membaca sampai tidak sadar kamu sudah duduk di sebelahku cukup lama. Cukup lama sampai akhirnya kamu menegurku, mengajak kenalan. Caramu berkenalan cukup membuatku tertawa kecil, basi sekali, menanyakan buku apa yang sedang kubaca sampai sebegitu fokusnya. Mungkin karena grogi. Tapi aku bersyukur kamu berani mengajakku berkenalan sore itu. 

Aku langsung jatuh cinta pada caramu memanggil namaku setelah kita berkenalan. Juga pada menit demi menit percakapan kita yang membuat aku melupakan buku yang sebelumnya kubaca.
Caramu bercerita menyenangkan. Senyummu jangan ditanya lagi, seperti hal terindah yang bisa kubingkai sore hari itu. Sorot mata yang teduh, dengan garis rahang yang tegas. Rambut yang agak sedikit berantakan tetapi entah bagaimana terlihat cocok untukmu. Sweater biru donker, celana jeans dengan biru yang lebih gelap. Jam tangan hitam di tangan kiri dan sepatu hitam. Kamu sangan tampan.

Kita bertukar nomer handphone, berharap tetap bisa mengobrol di kemudian hari. Dan ternyata malam harinya kamu langsung menelepon. Bibit-bibit rasa yang muncul tadi sore tumbuh dengan subur di dalam hati.

2 tahun setelah sore itu, aku duduk di tempat yang sama, menunggu kamu dengan greentea latte kecintaan. Sudah 30 menit berlalu dari waktu janjian. Tumben sekali. Ada apa denganmu? Apa kamu baik baik saja selama perjalanan ke sini? 

Ah mungkin kamu masih ada sedikit urusan, aku akan menunggu.
Satu jam berlalu, aku tetap menunggu. Menit demi menit kali ini berjalan lebih lambat.
Dua jam berlalu, aku mulai tidak sabar. Tidak biasanya kamu seperti ini. Aku terus mengecek ponsel dengan gelisah. Berharap ada pesan masuk darimu yang mungkin lupa aku baca. Tapi nihil. Tidak ada kabar apapun darimu.

30 menit lagi berlalu, akhirnya aku mulai menelepon mu. Sungguh aneh. Kamu terlambat, tidak seperti biasanya. Kamu tidak memberi kabar apapun, tidak seperti biasanya. Nomormu tidak dapat dihubungi, tidak seperti biasanya. Di luar hujan mulai turun. Langsung deras, tidak menyapa dengam gerimis terlebih dahulu. 

Aku terus menunggu sampai memesan greentea latte kedua. Melamun menatap jalan. Berharap tiba-tiba kamu muncul dan tersenyum di depan jendela dengan payung abu-abu mu itu.
Aku terus melamun sambil melihat air hujan turun, menampar jalan, membuat suara yang cukup berisik tapi aku tidak terganggu. 

Cukup lama aku melamun, sampai harus dipanggil berkali-kali sampai akhirnya sadar. Sedikit kaget. Ternyata salah satu pelayan di kafe itu yang menegurku. Dia memberikan sebuah surat dengan grogi, entah apa isinya. Dia cuma menyebutkan namamu.

Aku tidak bisa menebak apa yang ada di dalam surat itu. Aku mulai gelisah. Penasaran dengan isi surat itu tapi aku takut membaca nya. 

Setelah sekian lama, akhirnya ku beranikan diri untuk membuka surat itu. Hanya ada sebaris kalimat, ditambah namamu di akhir surat. 

Aku menghela napas panjang setelah membaca nya. Lalu memasukkan surat itu juga handphone ku ke dalam tas, membayar pesanan ku, menerobos hujan. Aku harus pulang. 

Besoknya aku jalan melewati kafe itu lagi. Berhenti sebentar, menatap ke dalam, ke meja dekat jendela. Kali ini aku tidak mampir. Sama beratnya dengan kamu yang hanya menitipkan surat untuk sebuah perpisahan, aku terus melangkah maju.

Minggu, 03 Desember 2017

Setia

Untuk waktu-waktu susah yang tidak dapat kita leburkan dengan pelukan,
Untuk waktu-waktu senang yang tidak dapat kita rayakan dengan ciuman,
Tetaplah percaya ada waktu yang sudah disediakan sedemikan rapinya, suatu saat nanti.

Senin, 27 November 2017

Saya Perlu Kamu

Rumah, 6 Oktober 2017 

 
Saya hampir tak mampu memaknai rindu
Perlahan malam tak lagi syahdu
Hujan tak lagi kelabu
Kita tak cukup waktu
Saya perlu kamu


-Rama

Minggu, 15 Oktober 2017

Oktober: Ruang Tengah

Kita biasa menghabiskan malam seperti ini. Bersama di ruang tengah, menonton tv sambil menyandarkan lelah setelah seharian bekerja. Sama sama meluruskan kaki, dengan aku yang menyandarkan kepalaku di bahumu dan kamu mengelusnya. Kamu adalah rumah ternyaman.

Kita biasa menikmati akhir pekan seperti ini. Bersama di ruang tengah dengan kamu yang nyaman rebahan di pangkuanku. Sama-sama serius, menekuni buku bacaan masing-masing. Bersama dalam diam.

Kita biasa menikmati hujan seperti ini. Bersama di ruang tengah dengan aku yang nyaman di pelukanmu. Menikmati air Tuhan turun di luar jendela kaca besar di depan kita. Memperhatikan bulir-bulir nya turun dengan hebatnya menghasilkan alunan merdu. Hujan menjadi lebih syahdu karena adanya kamu.

Kita biasa seperti ini. Mencintai dengan sederhana. Bahagia dengan hal hal sederhana. Bagiku, selama itu bersama kamu, bagaimana pun aku bahagia. Bagaimana dengan kamu? Apakah sama? Semoga begitu.

Dan sayang, beginilah aku menyatakan padamu aku rindu.

Selasa, 29 Agustus 2017

Ini Kekasihmu

Sekarang kamu tau seperti apa aku.
Bukan tipe yang manis sepanjang waktu.
Cukup pemalu bahkan hanya untuk mengungkapkan rasa sesering kamu.

Untuk cintamu yang sebesar semesta, terimakasih ku sampaikan dengan sekian banyak doa untukmu mengiringi.
Kata orang, obatnya rindu adalah temu, sedangkan doa adalah peredanya untuk sementara.

Selamat ulang tahun.
Ucapannya tidak tepat waktu, tapi semoga kamu selalu tau.

Rasa-rasa yang tidak bisa setiap saat diungkapkan.
Rindu-rindu yang tidak semua bisa dikatakan.
Doa-doa yang selalu tertuju padamu.

Kamu spesial bukan hanya setahun sekali di tanggal kelahiranmu.
Bagiku, sepanjang waktu.
Dua belas bulan setahun.
Empat minggu sebulan.
Tujuh hari seminggu.
Dua puluh empat jam sehari.
Enam puluh menit sejam.
Enam puluh detik semenit.
Sepanjang waktu.

Angka yang baru.
Tidak akan lebih mudah.
Tapi akan lebih ringan, janjiku untuk selalu mendampingi.

Rabu, 02 Agustus 2017

Agustus: Sampai Jadi Debu*

Aku berdoa agar kita adalah selamanya
Tapi akan selama apa selamanya itu?

Karena kamu adalah yang aku bayangkan ada menemani hari demi hari sampai aku tua nanti.
Sampai kita tua nanti.
Sampai tidak mudah lagi bagimu mengingat segala hal. Aku akan mengingat semuanya untukmu.
Sampai rambut kita memutih dan kulit kita menua bersama waktu. Ah tidak, kamu akan selalu tampan bagiku walau bagaimanapun waktu mengubah segalanya.
Sampai tidak banyak yang bisa kita kerjakan dengan tubuh yang tidak lagi muda. Kita akan banyak menghabiskan waktu bersama di rumah saja. Aku tidak keberatan.
Sampai semua anak-anak kita sudah dewasa dan punya kehidupannya maisng-masing. Rumah akan sangat sepi tanpa mereka. Kita akan berbagi rasa sepi itu bersama. Aku tidak akan membiarkanmu sendiri.

Sampai suatu hari kita benar-benar lelah, dan sudah waktunya meninggalkan dunia ini. Bisakah kita beristrahat bersama? Karena tidak bisa kubayangkan bagaimana aku menjalani hari tanpa kamu. Dan aku tidak bisa membiarkan kamu yang menemani aku selama itu merasakan hari tanpaku di sisimu.
Kita akan diistirahatkan bersisian.
Sampai jadi debu kita terus bersama.

Tuhan, bolehkah untuk kita selamanya tanpa batas waktu?








*terinspirasi Banda Neira- Sampai Jadi Debu.

Sabtu, 22 Juli 2017

Juli: Yang Aku Tidak Suka

Aku tidak suka wajah yang seperti itu. Murung, senyumnya hilang entah kemana. Mungkin aku tidak bisa mengerti seberapa besar badai di pikiranmu, yang aku tau pasti badai itu bisa membuatmu tidak makan juga tidak bersemangat seharian. Aku tidak suka. Berani-beraninya dia mengambil senyum yang paling favoritku.

Aku tau aku tidak punya kekuatan super. Kekuatan super yang bisa mengusir badai di pikiranmu itu lalu mengembalikan senyummu. Ah iya, andai saja aku punya mungkin akan lebih mudah setiap kali badai itu berani datang lagi dan lagi. 

Aku tidak suka wajah murung itu. Tapi aku hanya diam, lalu memelukmu seerat-eratnya. Berharap dengan begitu badai itu perlahan akan hilang, lalu diganti dengan langit cerah. Iya mungkin aku tidak akan pernah mengerti apa yang mengusikmu, kamu juga tidak mau membaginya. Iya aku mengerti. Tapi ijinkan aku tetap begini, oke? Karena hanya ini yang bisa aku lakukan. Aku ingin kamu selalu ingat, kamu tidak pernah sendiri. Seberapa besar badai di pikiranmu, atau seberapa berat beban hidupmu yang sedang kamu hadapi, aku mengerti kalau kamu memang tidak mau membaginya denganku. Tapi ijinkan aku tetap di sini.

Aku sangat tidak suka wajah murung itu. Jadi secepatnya kembali ya, tampan.

Senin, 12 Juni 2017

Juni

Hampir 365 hari sejak pertama mengenalmu dan tidak ada satu hari pun aku menyesal telah dipertemukan tanpa pertemuan denganmu.

Suatu hari nanti,

untuk keberanianmu menyapaku terlebih dahulu,
untuk usahamu mengenalku,
untuk kerelaanmu menerimaku apa adanya,
untuk keyakinanmu mempertahankanku,
untuk kesabaranmu menghadapiku,
untuk tekadmu membahagiakanku selalu,
untuk dukunganmu yang tanpa henti,
untuk hatimu yang lapang memaafkan,
untuk kesetiaanmu tanpa aku meminta,
untuk semua waktu yang kamu sempatkan di sela kesibukanmu,
untuk ego yang kamu tahan supaya tidak memperlama pertengkaran,
untuk keseriusanmu pada hubungan ini,

akan kuhadiahkan terimakasih ku dalam sebuah dekap yang erat.

Kamis, 01 Juni 2017

Kebodohan yang Kekal

Kami adalah sesuatu yang dipertemukan tanpa pertemuan
Mengikat satu sama lain dengan perjanjian yang terhenti pada kata amin
Dia adalah satu satunya yang menjebak aku dalam ruangan yang kosong akal sehat
Yang sehat tanpa akal
Yang kekal tanpa logika
Yang terus bergerak dan bertumbuh atas nama cinta
Jangan semata mata bilang aku bodoh
Ya tapi anggap lah aku memang bodoh
Ketika asa dan rasa tak mampu dibinasakan logika
Tapi ternyata kebodohan bukannya mudah untuk dilawan

Aku harap mampu menarik jarak
Tapi jarak adalah yang paling keras kepala
Kalau begitu aku harap dapat bersahabat baik dengan waktu

Tak semua ada dalam rencana besarku
Lalu sedikit demi sedikit mulai kutoleransi
Sampai akhirnya kuharap bisa punya dia saja




A post by: Rama

Senin, 22 Mei 2017

Mei: Tentang Jarak dan Rasa

Kita kembali berjarak. Kali ini lebih jauh, sekitar 1200 km, tapi kamu terasa lebih dekat.

Mungkin bagi orang-orang, jarak adalah sesuatu yang menyebalkan. Dia membuat mereka yang awalnya bisa memeluk kapan saja menjadi harus menahannya sampai bertemu lagi. Pada awalnya dia akan memberi sebongkah besar keyakinan, tapi dia juga yang membuat kita menghancurkannya dengan pikiran kita sendiri.

Dia memberikan insecurities. Dia memberi kesempatan yang besar untuk memikirkan apakah kita akan baik-baik saja dengan ini. Apalagi terhadapmu, sepertinya dia sering usil, membuatmu berpikir yang tidak -tidak.

Dia memberikan ketakutan-ketakutan yang sebenarnya tidak perlu dicemaskan. Mungkin itu adalah senjatanya, untuk menghancurkan kepercayaan kita akan harapan-harapan yang ada. Benar katamu, kita cuma harus menang.

Tapi sebentar, dia juga memberi ruang yang besar untuk merindukan seseorang yang jauh. Ruang yang sangat besar. Sampai-sampai kita akan lelah menyusurinya ketika sudah waktunya bertemu nanti. Tapi tenang saja, denganmu aku mau tersesat menyusurinya, denganmu aku tidak akan lelah menyusuri ruang besar itu. Ruang besar milikku dan milikmu.

Kepadaku, dia menunjukkan seberapa besar kamu menyayangiku, seberapa besar aku berpengaruh di hidupmu, seberapa penting aku untukmu, seberapa sering kamu merindukanku. Jadi aku tak masalah berteman dengannya, bahkan aku mulai akrab dengannya.

Karena rasa bukan tentang jarak. Tapi tentang (si)apa yang ingin dipertahankan bagaimana pun keadaannya dan seberapa jauh pun jaraknya. Dan bagiku itu adalah kamu.

Rabu, 05 April 2017

April

Kepada lelakiku.

Halo sayang. Semoga kamu selalu dalam keadaan baik. Aku di sini selalu mencemaskan kamu yang kurang tidur akhir-akhir ini.

Banyak hal yang terjadi belakangan ini dan sangat membebani pikiranmu. Aku mungkin tidak membantu banyak tapi aku ada di sini. Jangan pernah merasa kamu menghadapinya sendirian karena aku ada di sini. Jangan mengkhawatirkan aku. Aku tidak akan kemana mana.

Sayang, hal yang terpenting sekarang adalah seberapa berat masalahmu, kamu harus menjadi kuat untuk semuanya. Karena banyak yang bersandar padamu. Kamu harus menjadi kuat untuk semuanya. Untuk itu kamu harus selalu sehat.

Tapi sesekali kamu boleh mengeluh, cukup di depanku saja kalau kamu tidak mau terlihat lelah di depan mereka yang kamu sayang. Kamu sudah berusaha dengan semua yang kamu bisa, istirahat lah yang cukup dan makan teratur.

Jumat, 10 Februari 2017

Ayah dan Pernikahan

Salah satu momen mengharukan: ketika seorang ayah menikahkan anak perempuannya.

Kebanyakan ayah adalah sosok seseorang yang jarang menunjukkan emosinya, terutama emosi kesedihannya.

Pernah nggak sih kalian kepikiran bagaimana sesungguhnya perasaan sedih yang dirasakan seorang ayah saat itu?

Apa yang sebenarnya beliau rasakan saat ada seorang lelaki yang mencintaimu dan kamu cintai datang ke rumah untuk memintamu?

Di hari menjelang pernikahanmu, bisa jadi itu adalah momen emosional bagi seorang ayah. Melihat putrinya sibuk mengurus gedung pernikahan, catering, urusan undangan, seragam keluarga, pertemuan dengan kedua keluarga, membahas ini dan itu, semakin menunjukkan bahwa pernikahan putrinya itu nyata adanya.

Di hari pernikahan. Semua orang sibuk, semua orang bersiap pagi-pagi sekali. Mungkin saja ayahmu mulai cemas, mulai grogi, mulai tak karuan rasanya. Detik-detik menjelang ijab kabul. Antara bahagia melihat putrinya akhirnya bisa menikah dengan lelaki pilihannya dan sedih karena harus merelakan putrinya jadi milik lelaki lain.

Dan akhirnya dengan mata berkaca-kaca yang dijaga supaya tidak jatuh dan suara tertahan "Saya nikahkan putri saya yang bernama......" lalu putrinya pun menjadi tanggung jawab orang lain.

Entah bagaimana tepatnya perasaan seorang ayah pada hari itu, yang pasti melihat senyum putrinya setelah itu pasti bahagia.

Pernah suatu hari dengan sangat random aku kepikiran akan seperti apa ekspresi ayahku ketika nantinya aku menikah.
Apakah beliau akan merasa sangat sedih? Mungkin iya. Walaupun berusaha untuk tidak ketahuan. Semoga saat waktu itu datang, aku bisa mengalahkan gengsi untuk memeluknya.

Kalau dihitung secara kasar, kurang dari setengah kali umurku saat ini, itu adalah jumlah waktu yang dihabiskan bersama aku dan ayahku karena pekerjaan ayahku yang mengharuskan kita untuk tinggal berbeda pulau. Segitu saja.

Kebayang nggak sih bagaimana lebih susahnya merelakan anak perempuannya yang tidak banyak menghabiskan waktu dengannya untuk menjadi tanggung jawab orang lain.

Maksudku ya yang masih tinggal serumah bersama ayahnya saja pasti sedih merelakan anak perempuannya, apalagi yang kondisinya seperti aku dan ayahku.

Apalagi setelah ijab kabul yang berarti sebagai seorang istri, aku harus mengikuti tinggal di mana suamiku bekerja. Dan itu bisa berarti lebih jauh dan lebih jarang bertemu lagi dengan ayah.

Sebenernya momen pernikahan itu lebih banyak sedihnya menurutku daripada kebahagiaannya. Eh entah sedih atau cuma haru.

Yaaaa yang terpenting ternyata memang untuk melangkahkan kaki ke tahap yang besar dalam hidup itu banyak yang perlu dikorbankan.

Kamis, 09 Februari 2017

Ini Bukan Masalah

Halo. Ini masih tentang kamu, yang sedang sibuk-sibuknya.

Aku adalah aku. Aku bukan orang lain. Aku juga bukan anak kecil. Bukan seorang aku kalau suka marah cuma karena merasa kamu tidak punya waktu untukku karena kamu bekerja seharian.

Mungkin kamu tidak percaya, tapi aku sama sekali tidak mempermasalahkannya. Kamu tidak perlu meminta maaf karena kamu sibuk. Tidak perlu meminta maaf karena waktumu untukku sedikit. Tidak perlu minta maaf karena tidak bisa sering menemani. Aku tidak marah sama sekali. Karena aku tau masih banyak prioritas lain selain aku dan itu termasuk keluargamu dan pekerjaanmu. Jadi lakukanlah.

Melihat kamu super sibuk dua minggu ini bukan membuatku marah, tapi khawatir. Karena kadang kalau sudah begini kamu akan lupa mengurus diri sendiri. Makan telat, minum es, hujan-hujanan, dan akhirnya jatuh sakit. Aku akan marah kalau kamu sakit. Berkali-kali aku bilang kan kalau pekerjaanmu akan berantakan kalau kamu sakit, jadi jangan sampai sakit. Inget makan. Itu penting.

Don't worry. I'm not gonna leave you. Because I know no matter how busy you are, you always have a time for me. And I'm falling in love with you like every single day.




Note: Hei maaf suratnya terkesan galak, dan nggak manis. Habisnya aku nggak suka kamu meminta maaf terus untuk sesuatu yang bukan kesalahanmu. Dan kamu kalau udah sibuk ngeyel sih.

Rabu, 08 Februari 2017

Kepada Kamu yang Berjarak

"Distance means nothing, when someone means everything"

Kepada kamu yang berjarak 500 sekian kilometer, 12 jam menggunakan mobil (20 jam kalau macet dan 24 jam kalau macet total), 8 jam menggunakan kereta, dan 45 menit menggunakan pesawat.

Tinggal di kota yang berbeda denganmu membuatku susah ketika rindu datang. Aku tidak bisa langsung memelukmu atau sekedar melihatmu. Aku tidak bisa sering-sering menatap muka manjamu, tidak bisa langsung merawatmu ketika kamu sakit, tidak bisa hadir menghiburmu saat kamu melewati hari yang melelahkan.

Hal yang aku lakukan selama ini adalah menjalani hari dengan membayangkan seandainya kamu ada di sini. Seperti saat aku menonton Ramayana Ballet. Aku ingat kamu pernah cerita kamu suka pertunjukkan seperti ini sampai dini hari. Jadinya selama pertunjukkan aku membayangkan menonton bersama kamu, kamu yang masih fokus menonton dan aku yang mulai mengantuk di sebelahmu.

Kalau kamu di sini, kita bisa menghabiskan sore dengan makan ayam bakar. Kita bisa bertemu untuk sekedar makan malam setelah kamu pulang kerja. Kita juga bisa menonton film bareng waktu weekend, atau masak bareng. Oh atau kita bisa jalan jalan kemana aja, refreshing sebentar biar kamu nggak bosen sama kerjaan. Atau mungkin menghabiskan seharian tidak melakukan apa-apa juga bisa ehehehe

Tapi sementara berjarak begini juga bukan masalah. Aku bukannya mengeluh, sayang. Aku tidak mempermasalahkan sedikitpun tentang jarak ini atau juga tentang seberapa banyak waktu yang kita habiskan bersama dalam satu hari. Karena kamu dengan entah bagaimana caranya bisa membuatku merasakan bahwa kamu ada, selalu memberikan waktu di tengah kesibukanmu dan itu cukup. Ya walaupun terkadang kamu menyebalkan karena tidak mengerti kalau aku merindu dengan sangat.

Lagipula, kurang dari 10 kali weekend lagi akhirnya kita bisa menghabiskan hari-hari bersama untuk sementara.

Dan aku selalu berdoa semoga kita bisa sampai pada hari di mana tidak perlu mengambil cuti untuk menghabiskan waktu bersama karena aku sudah menunggumu pulang di rumah setiap hari.

Jumat, 20 Januari 2017

Januari: Semoga

Kepada kamu,
Kamu ingin tau bagaimana perasaanku dari awal mengenal kamu sampai sekarang, tetapi aku terlalu malu untuk menjelaskan ehehehe tapi untuk menjawab rasa penasaranmu aku mencoba untuk menuliskannya secara sederhana.
Awalnya aku ragu. Karena aku lihat kamu sebegitu sempurnanya, sedangkan aku biasa saja. Kamu selalu jujur tentang apa yang kamu rasakan, dan aku selalu percaya.
Mengenal kamu yang semi-stranger membuat aku tidak banyak berekspektasi dan menduga-duga. Tapi ternyata kamu di atas ekspektasi. Dibandingkan dengan kamu, aku selalu merasa kurang pantas. Tapi kamu selalu memastikan kalau cukup satu untukmu. Cukup hanya dengan aku yang begini.
Ini yang aku belum ceritakan padamu. Semakin mengenal kamu, semakin makin aku mau terus bersama kamu. Semakin mengenal kamu, semakin yakin bahwa aku dan kamu itu melengkapi. Tidak ada satu hari pun aku berpikir bahwa hidup lebih baik tanpa kamu. Semoga kamu juga merasa begitu.
Aku tidak pintar menyatakan perasaan. Tapi semoga kamu mengerti. Meski ada ketakutan yang aku punya (yang seharusnya tidak perlu dicemaskan katamu), keinginan untuk terus bersama kamu itu lebih besar.
Semoga memang untukmu itu aku dan untukku itu kamu. Karena aku tidak tau akan bagaimana kalau bukan kamu.