Hai (lagi-lagi) kamu.
Tepat di tanggal ini setahun yang lalu kamu baru saja memenangkan sebuah pertandingan. Segininya aku memperhatikanmu sampai aku masih ingat juga apa yang kamu janjikan beberapa hari sebelumnya.
Setiap malam, seminggu terakhir menjelang pertandingan, kamu selalu mengeluh. Kamu mulai lelah dan mulai gelisah. Dan entah bagaimana awalnya, setiap malam sebagai temanmu aku bersedia mendengarkan, memberi dukungan, dan mengembalikan semangatmu lagi. Aku masih ingat bagaimana kerasnya kamu latihan, menjaga pola makan, dan menghindari segala yang enak tapi dilarang menjelang pertandingan.
Kamu tidak minta dijanjikan ini itu kalau nantinya kamu memenangkan pertandingan. Kamu hanya meminta dukungan dan doa, tidak kurang dan tidak lebih. Kamu meminta aku untuk tidak menonton pertandinganmu. Kamu hanya memperbolehkan aku datang di final. Tiga kali. Aku masih ingat aku memintamu untuk bermain tiga kali. Dan kamu berhasil melakukannya. Bermain tiga kali dan menang.
Ini yang kamu tidak pernah tau, walau di final aku tidak datang, setiap sujudku aku menyebut namamu. Dan ini juga yang tidak pernah kamu tau, aku menyesal tidak datang siang itu. Walau kamu tidak mengatakannya, aku tau kamu kecewa. Malam itu, setelah kemenanganmu, kamu menepati janjimu, mengajakku makan siomay, sederhana sekali.
Aku sangat menyesal tidak datang siang itu. Karena sekarang, kamu tidak lagi mau mengikuti pertandingan. Siang itu seperti kesempatan pertama dan terakhir aku bisa melihatmu dalam sebuah pertandingan. Kesempatan yang aku sia-siakan. Bahkan rasa bersalah karena tidak menepati janjiku untuk datang siang itu masih selalu terbayang sampai sekarang walau kamu sudah melupakan bahwa kamu pernah memintaku untuk berada di dekatmu.
Ini yang mau aku sampaikan lewat surat ini. Maafkan aku yang tidak menepati janjiku seperti kamu menepati janjimu. Maaf aku menyakiti hatimu seawal itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar